Menjadi Pendengar Setia

Anika Fatima
4 min readJun 4, 2020

Pendengar setia itu bukan cuma penikmat podcast atau radio. Pendengar setia berarti juga kamu yang mendedikasikan waktu untuk mendengarkan keluh kesah teman-temanmu. Dibuat untuk memenuhi tantangan 30 hari menulis. Dibuat berdasarkan cerita-cerita dan curhatan yang masuk selama masa karantina ini.

Bercerita itu sulit, tapi mendengarkan itu tidak mudah. Butuh waktu dan energi untuk benar mendengarkan.

Sebagai seorang ekstrovert yang selektif, saya bergaul dengan semua orang, tapi memastikan saya punya orang-orang terdekat yang bisa dipercaya. Jadi tetap menyapa dan basa-basi. Tetap suka berorganisasi dan diskusi. Tapi, untuk urusan privasi tetap disimpan untuk orang terdekat dan diri sendiri.

Ekstrovert itu cara isi energi dan energi yang disalurkannya saja ke orang sekitar bagi saya. Bukan berarti saya selalu habiskan waktu dengan orang lain. Sebagai orang yang selektif, saya hanya bisa benar terbuka pada orang terdekat. Saya suka mendengar dan mencarikan solusi orang terdekat, sampai diledek teman saya yang susah tapi malah saya yang pusing mencarikan solusi.

Background saya sendiri semasa kuliah pernah menjadi konselor sebaya kampus. Terlatih praktik pada mata kuliah konseling keluarga dan pelatihan menjadi konselor. Saat menjadi konseling sebaya resmi kampus, kami melewati serangkaian seleksi dan pelatihan. Konseling sebaya kampus kami juga dilantik langsung oleh rektor.

Akhirnya saya sendiri terbiasa menjadi konselor untuk diri sendiri dan teman saya. Saya punya kebiasaan buruk saat menyelesaikan masalah, yaitu gegabah karena saya lebih suka mengambil pilihan salah lalu bertanggung jawab daripada terdesak oleh pilihan. Terbayang gak ya? Intinya saya benci jika terlalu lama mengambil keputusan.

Berkat seluruh curhatan teman terdekat sayapun, akhirnya saya melatih diri bersikap seperti konselor, karena solusi ala saya sendiri yang gegabah tak dapat menolong mereka. Sebenarnya ada sedikit rasa bersalah, karena klien itu kesannya dingin ya. Tapi percaya tak percaya, kepala dingin dan profesionalitas membuatmu jadi teman curhat ideal. Terimakasih untuk teman-teman yang percaya cerita dan bersedia di perlakukan seperti klien ya…

Kali ini saya mau sharing sedikit tips mendengarkan curhatan dengan profesional ala saya sendiri dan pengalaman saya :

Bedakan Masalah Inti Vs Gejala

Apa masalahnya?

Yang paling terasa dari pengalaman jadi konselor adalah memetakan gejala serta masalah inti. Mana yang masalah inti lalu saat dia tak ditangani dengan baik akan menimbulkan gejala-gejala ini. Terkadang kita fokus mengobati gejala saja, lalu bingung kenapa masih ada rasa mengganjal. Padahal, masalah inti tak tuntas makanya tak pernah pulih sempurna.

Singkatnya, masalah inti ini menghasilkan gejala-gejala kecil. Misalnya saat sakit flu, disertai gejala hidung tersumbat dan kepala pusing. Kalau hidung tersumbatnya diobati apakah flunya langsung hilang? Tetap butuh waktu. Sama saja dengan masalah insecure misalnya, jika kemudian membuat sulit percaya pada orang lain dan perasaan tidak pede. Maka yang diobati duluan adalah insecure-nya, mengobati yang lain tidak dapat menyelesaikan masalah.

Masalahnya orang datang dengan keluhan gejala, jadi kita butuh waktu untuk memahami masalah intinya apa. Seperti diagnosa penyakit di dokter, amati gejalanya lalu temukan masalah intinya. Orang yang sedang menderita ini belum tentu sadar inti masalah yang dia hadapi, jadi menjelaskan masalah yang kamu temukan saat observasi adalah tanggung jawabmu.

2. Satu Orang, Sejuta Solusi

Harus bagaimana?

Setelah menemukan inti masalah baru kita buat berbagai alternatif solusi dan sajikan alternatif ini pada sahabat curhatmu. Singkatnya kita perlu melebarkan perspektif dalam memandang masalah untuk jeli lihat potensi solusi. Yang termudah menganalisis sumberdayanya dulu.

Singkat cerita begini, saya adalah orang yang pemberani dan terus terang. Jika ada masalah terkait saya dengan orang lain maka akan saya hadapi, diskusikan, negosiasikan sampai tuntas. Tapi, tak semua orang seperti saya. Maka pendekatan hadapi masalah secara head on alias dihadapi langsung, bukan untuk semua orang.

Jadi pahami dulu sumberdaya dan kekuatan yang dimiliki oleh sahabat curhatmu. Lalu, buatlah kemungkinan solusi-solusi dari kekuatan itu. Kenapa jangan buat 1 solusi saja? Karena kita bukan ingin menggiring opini, tapi menyadarkannya bahwa ada solusi kreatif bagi tiap masalah rumit. Jadi jangan sekali-kali tentukan atau putusan sesuatu pada masalahnya, biarkan dia menentukan sendiri yang terbaik baginya.

Ini bagian yang susah, apalagi jika teman baikmu orang yang takut mengambil keputusan. Akan lebih sulit mengakui diri kita salah, lebih mudah menyalahkan orang lain. Makadari itu butuh keberanian untuk memilih. Belum lagi jika dia mengambil keputusan bodoh menurutmu. Maka yang mungkin kau lakukan sajikan pertimbangan resiko solusi yang ingin dia ambil, jika tak siap maka sarankan solusi lain dengan resiko yang mampu diterimanya.

3. Masuk Kuping Kanan, Menetap di Jantung Kiri

Kapan omongan kita akan didengar?

Nasihat itu harus diambil hati. Kalau diambil ego, tak akan menang. Diambil logika, rasanya tak logis.

Orang bercerita apalagi curahan hati, kadang tak ada ujungnya. Jadi biarkanlah dia bercerita sampai tuntas dulu. Sebagai pengamat tetap fokus menggali dan sesekali tunjukkan empati dan respon agar dia tahu kita masih mendengarkan.

Menasihati itu ada timingnya. Jadi wajarlah kalau orang yang kamu nasihati justru gak mau dengar. Lalu mengeluh deh kita, orang itu gak bisa dikasih tau. Kamu sendiri belum tuntas mendengarkan. Gimana mau didengar?

Jadi meskipun yang diceritakannya masalah luar biasa gak penting, atau bikin kita enek ya dengarkan saja dulu. Disinilah pahala sabar kita, dengarkan sampai tuntas. Kalau ada emosi meluap, ya kita validasi aja dulu sampai semua unek-unek keluar. Mulai memberikan saran itu saat yang bersangkutan mulai bingung dan bertanya “harus gimana?” atau “salah apa aku?”. Fokus jelaskan nasihat dengan kasih sayang dan kepedulian tulus.

Kalau dia nggak bertanya atau nggak butuh nasihatmu, yasudah biarkan. Kegiatan menasihati itu butuh kesabaran, kamupun perlu sabar menunggu saat yang tepat. Lagipula, tak semua masalah butuh nasihat dan solusimu.

Jangan terlalu kecewa bila nasihatmu tak didengar. Menasihati itu untuk melakukan tanggung jawab bagi dirimu sendiri yang punya kewajiban mengingatkan pada kebaikan, bukan untuk didengar dan dituruti.

Ya begitulah tipsnya semoga bermanfaat buat jadi teman cerita yang berkualitas.

Untuk teman terdekatku. Inspirasi tulisan ini adalah kalimat yang sangat hebat ini :

  • Terimakasih ya udah mau dengerin.
  • Lu paling ngertiin deh emang.
  • Gue lega deh cerita sama lu.
  • Makasih ya, sejak ngobrol sama lu gue banyak sadar sesuatu.
  • Banyak nih PR gue abis kita ngobrol.
  • Terimakasih.

Lagi-lagi kata terimakasih berhasil jadi ajaib untukku. Terimakasih ya kalian.

--

--